Berangkat dari kecintaan pada game Guitar Hero, aku mulai menikmati musik. Apapun itu. Karna mengutip perkataan dari Jason Ranti, musik cuman ada dua, enak dan gak enak. Aku mengiyakan hal tersebut. Walaupun awalnya aku adalah seorang yang pernah sangat fanatik dengan satu atau beberapa beberapa Band, tapi perjalanan menikmati musik membuatku memiliki berbagai macam paradigma, mulai dari apa sih sebenarnya musik itu, belajar tentang kultur perlawanan lewat musik, atau perlawanan terhadap kebosanan ideologi terhadap salah satu aliran musik yang menurutku cukup menarik untuk dibahas. Istilahnya perlawanan dalam sebuah gerakan perlawanan.
Jika diingat-ingat, sebenarnya aku mengenal musik dari masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Kak Hendra, seorang sepupu yang mengenalkanku dengan lagu Mimpi Yang Sempurna dari Peterpan membuatku sangat betah menunggu di depan televisi untuk menonton penampilan dari band Peterpan. Namun, kala itu ya namanya juga anak kecil, aku hanya menikmatinya, dengan modal meminjam pemutar musik milik salah satu saudaraku, aku memutar musik-musik pop yang kala itu sedang tenar-tenarnya. Tipe-X, Letto, Peterpan, hingga Radja.
Kembali ke Guitar Hero, ini adalah awal mula aku mengenal musik Rock, Punk, Grunge, Metal dan lain sebagainya. Adalah Avenged Sevenfold, yang membuatku menjadi fans fanatik, mendengar semua album bajakannya dari hari ke hari, mulai dari Album Waking The Fallen hingga Nightmare. Aku kira aku adalah orang yang mudah bosan, aku mulai menjelajahi internet dan mulai mencari band lain untuk penyegaran telingaku, aku mulai jatuh cinta dengan musik Post Hardcore ketika aku masuk SMA. Sebenarnya, waktu SMP perjalan menikmati musikku sangat berwarna karna dihiasi dengan lagu-lagu ST12, Kangen Band, hingga My Chemical Romance, namun karena masih SMP juga, itu kuanggap keren-kerenan aja.
Ketika aku mulai mencari refrensi musik Screamo dan Post Hardcore, aku juga mulai paham dengan arti kata Indie yang sering dilabelkan kepada band-band yang sebenarnya lagunya sering kudengar, namun aku belum paham dengannya. Alone At Last, Superman Is Dead, Pee Wee Gaskin, Night To Remember, Killing Me Inside, hingga Aftercoma.
Mulai memasuki akhir tahun di SMA kupingku semakin gatal akan hal baru, aku mulai mengenal Deathcore, Suicide Silence dan Attila adalah favoritku masa itu. Aku yang setiap hari menargetkan setidaknya mendownload dua mp3 lagu 'metal' mulai ketagihan, lagi dan lagi. Killswitch Enggage, As I Lay Dying, dan band core-core lainnya.
Aku juga masih mengingat dan juga berterima kasih kepada salah satu teman yang pernah memberikanku baju Sepultura yang katanya dia beli dari Stevie Item atau sang Gitaris dari Deadsquad, yang kala itu juga membuatku mulai menyukai Death Metal, aku mulai melirik para penunggang mesin metal di Indonesia. Infamy, Burgerkill, Bersimbah Darah, Aftermath, dan lain sebagainya.
Aku yang kehausan akan refrensi, mulai mencari teman yang sefrekwensi dengan pendengaranku. Sayangnya, aku hanya mendapat satu teman, itupun musik yang didengarkan mentok di Dragon Force dan Linkin Park, ya dia memang anak Anime banget.
Selepas SMA aku mulai berkuliah dan mengenal teman-teman baru yang juga menyukai musik yang sama denganku. Aku sangat berterima kasih padanya, karnanya, aku mengenal nama-nama besar skena bawah tanah Manado. Sabaoth, Northorn, Hellsing, Durhaka, Artubiem dan lain-lain.
Aku yang berfikir kalau musik yang keren itu hanya metal ternyata salah ketika sudah mulai mengulik genre eksperimental lainnya, mulai dari Trashpunk, Atmosphric, Psikedelik, Folk, Post-Rock, Post Punk, Emo yang kembali pada rootsnya, hingga musik Shogaze, Stooner, dan alternatif lainnya yang membuatku semakin merasa kerdil.
Merasa pendengaranku ternyata kurang referensi, kurang keren. Dan inti semua tulisan ini adalah, semakin mendengar banyak musik, semakin gua ngerasa cemen dengan apa yang dulu gua jadikan idealisme.
Deafheaven, Breaking Benjamin, Arctic Monkey, Explosion In The Sky, Call Me a Dog, Axel Gulla,The Bothlers dan banyak lagi musik yang sedang ku dengar dan ku resapi semua pesan yang mereka bawa membuatku merasa sebenarnya siapa aku di dunia ini. Sekerdil inikah aku?
Aku yang sampai sekarang masih belajar, dan akan terus belajar tentang musik, apapun itu yang aku mau, juga berusaha, berusaha mengapresiasi para seniman favoritku, berusaha memberikan apapun yang bisa menjadikan itu sebagai semangat mereka berkarya.
Teruntuk Mas Eko, Koh Eric, Ringga, Aldy, Aldy Akuba, Putrawk, Adit, Firman, Owan dan Raino dan juga semua teman yang memberikanku sudut pandang baru akan musik, aku selalu mendoakan kalian agar bahagia. Aku senang mengenal kalian semua, siapapun itu yang memberiku refrensi musik dan juga sudut pandang baru akan musik.
Semoga semua ini lekas berakhir. Tetap berkarya kawan.
Ohh iya, dengan seribu maaf, aku lupa mencantumkan pacar sekaligus musuh berdebat dalam dunia permusikan, maaf maksudku dunia penikmat musik. Widya Sari namanya. Dia adalah salah satu orang yang sangat berjasa, karnanya aku bisa benar-benar menikmati Ariana Grande, Billie Elish, Lana Del Rey, dan tentunya Psycho dari Red Velvet. Ahahaha, orang pertama yang memberikanku kado ulang tahun sebuah Album EP Call Me a Dog bertajuk Rakshasha.
Dengan sepenuh hati ku memohon maaf karena menuliskanmu dalam akhir paragraf. Dari aku yang mencintaimu dalam Do I Wanna Know-nya Arctic Monkey. Lohe kok malah curhat?